Sistem adalah seperangkat objek di mana objek satu dengan yang lainnya
saling berkaitan, bahkan saling bergantung. Kita ambil contoh sistem
pencernaan makanan pada manusia yang terdiri dari mulut, kerongkongan,
lambung, usus dua belas jari, hati dan pankreas, usus besar dan anus.
Untuk kelancaran sistem pencernaan, semua organ (objek) tersebut
berkaitan, saling memengaruhi, dan sudah barang tentu tidak dapat
berdiri sendiri. Karena, jika salah satu organ mengalami gangguan, maka
sistem pencernaan akan terganggu.
Sistem sosial Indonesia terdiri dari beberapa subsistem seperti
ideologi, politik, ekonomi, budaya, komunikasi, pertahanan keamanan.
Subsistem satu dengan yang lainnya saling memengaruhi, namun subsistem
ideologi dan politik merupakan subsistem yang paling memengaruhi.
Dua sub-sistem ini menjadi dasar subsistem lainnya, termasuk subsistem
media massa. Dengan demikian, sistem media massa mencerminkan falsafah
dan sistem politik negara di mana dia berfungsi.
Fred S. Siebert, Theodore Peterson dan Wilbur Schramm menyatakan:
To see the social system in their true relationship to the press, one has to look at certain basic beliefs and assumptions which the society and the state, the relations of the state and the nature of knowledge and truth” (Siebert, 1963 : 1).
Maksud pernyataan tersebut adalah bahwa media massa pada suatu negara mencerminkan sistem sosial yang didalamnya diatur hubungan-hubungan antar individu dengan lembaga-lembaga yang ada.
Hubungan antara media massa dengan masyarakat adalah saling memengaruhi.
Negara membuat sebuah sistem media massa, lalu sistem ini akan
memodifikasi masyarakat negara tersebut. Karena setiap negara itu
berbeda, maka setiap sistem media massa di negara itu pun berbeda pula,
sehingga pola interaksi antara negara dengan media massanya terus
menerus berubah.
Hal ini dapat dilihat dari dimensi sejarah perkembangan pers (media
massa) dunia yang oleh Siebert dan kawan-kawannya dalam buku Four Theories Of The Press
(1963) dibagi menjadi empat macam teori. Keempat macam teori atau
konsep media massa tersebut dapat menggambarkan keadaan masyarakat dan
dasar pemikiran yang hidup pada masa itu.
Teori Otoriter (Authoritarian Theory)
Teori Otoriter merupakan teori yang paling tua sejalan dengan
terbentuknya pemerintahan negara yang bersifat otoriter yang lahir pada
abad 16 dan 17 di Inggris, kemudian meluas dan diterapkan ke seluruh
dunia. Pada masa ini, umumnya pemerintahan berbentuk kerajaan yang
bersifat absolut, karena falsafah yang dianutnya adalah falsafah
kekuasaan mutlak dari kerajaan atau pemerintah.
Menurut teori ini, media massa memunyai tujuan utama mendukung dan
mengembangkan kebijaksanaan pemerintah yang sedang berkuasa, dan untuk
mengabdi kepada negara. Tidak semua orang dapat menggunakan media
komunikasi kecuali mereka yang mendapat izin dari kerajaan atau
pemerintah. Dengan demikian media massa dikontrol oleh pemerintah,
karena hanya dapat terbit dengan izin dan bimbingan serta arahan
pemerintah, bahkan kadang-kadang dengan sensor pemerintah.
Hal yang tidak boleh dilakukan oleh media massa adalah melakukan kritik
terhadap mekanisme pemerintahan dan kritik terhadap pejabat yang sedang
berkuasa. Pemilik media massa bisa di pihak swasta yang mendapat izin
khusus dari raja atau pemerintah atau milik negara.
Asumsi dasar:
- Manusia tidak dapat berdiri sendiri dan harus hidup dalam masyarakat. Manusia juga akan menjadi “berarti” kalau dia hidup dalam kelompok;
- Kelompok lebih penting dari individu. Masyarakat tercermin dalam organisasi-organisasi, dan yang terpenting adalah negara. Negara merupakan tujuan akhir dari proses organisasi;
- Negara adalah pusat segala kegiatan, individu tidak penting;
- Pengetahuan dan kebenaran dicapai melalui interaksi individu. Interaksi itu harus terkontrol dan terarah sehingga kepentingan akhir tidak dirugikan.
Atas dasar keempat asumsi dasar tersebut, maka teori ini cenderung membentuk suatu sistem kontrol yang efektif dan menggunakan media massa sebagai sarana yang efektif bagi kebijaksanaan pemerintah meskipun tidak harus dimiliki oleh pemerintah.
Teori Liberal (Libertarian Theory)
Sistem ini dipraktikkan di Inggris setelah tahun 1668, kemudian
menyeberang ke Amerika Serikat, bahkan ke seluruh dunia. Teori ini
muncul setelah adanya perubahan besar dalam pemikiran masyarakat Barat
yang dikenal sebagai masa pencerahan (enlightenment). Teori libertarian
merupakan kebalikan dari teori otoriter karena berasal dari falsafah
umum rasionalisme dan hak alam, serta karya Milton, Locke dan Mill.
Asumsi dasar teori libertarian adalah bahwa manusia pada hakikatnya
dilahirkan sebagai mahluk bebas yang dikendalikan oleh rasio atau
akalnya. Manusia memunyai hak secara alamiah untuk mengejar kebenaran
dan mengembangkan potensinya apabila diberikan iklim kebebasan
menyatakan pendapat.
Dalam hubungannya dengan kebebasan pers (media massa), teori libertarian
beranggapan bahwa pers harus memunyai kebebasan yang seluas-luasnya
untuk membantu manusia dalam usahanya mencari kebenaran. Manusia
memerlukan kebebasan untuk memperoleh informasi dan pikiran-pikiran yang
hanya dapat secara efektif diterima ketika itu apabila disampaikan
melalui pers.
Pihak yang berhak menggunakan media massa dalam teori libertarian adalah
siapa pun yang memunyai sarana ekonomi. Para pemilik medianya pada
umumnya adalah swasta.
Tujuan dan fungsi media massa menurut paham liberalisme adalah memberi
penerangan, menghibur, menjual, namun yang terutama adalah menemukan
kebenaran dan mengawasi pemerintah serta untuk mengecek (to check) atau
mengontrol pemerintah. Media dilarang menyiarkan pencemaran nama baik
atau penghinaan, menampilkan pornografi, tidak sopan, dan melawan
pemerintah. Bila dilanggar, maka akan diproses melalui pengadilan.
Teori Tanggung Jawab Sosial (Sosial Responsibility Theory)
Teori tanggung jawab sosial dikembangkan khusus di Amerika Serikat pada
abad ke-20 sebagai protes terhadap kebebasan yang mutlak dari teori
libertarian yang telah menyebabkan kemerosotan moral masyarakat. Teori
ini berasal dari tulisan W.E Hocking, yang merupakan hasil rumusan
Komisi Kebebasan Pers yang diikuti oleh para praktisi jurnalistik
tentang kode etik media, yang kemudian dikenal sebagai Komisi Hutchins.
Dasar pemikiran teori ini adalah kebebasan pers harus disertai tanggung
jawab kepada masyarakat. Menurut para penulis pada waktu itu, kebebasan
yang telah dinikmati oleh pers Amerika Serikat harus dibatasi oleh moral
dan etika. Media massa harus melakukan tugasnya sesuai dengan standar
hukum tertentu. Teori ini sering dianggap sebagai suatu bentuk revisi
terhadap teori-teori sebelumnya yang menganggap bahwa tanggung jawab
pers terhadap masyarakat sangat kurang.
Dalam teori tanggung jawab sosial, prinsip kebebasan pers masih
dipertahankan, tapi harus disertai kewajiban untuk bertanggung jawab
kepada masyarakat dalam melaksanakan tugas pokoknya. Misalnya dalam
menyiarkan berita harus bersifat objektif, atau tidak menyiarkan berita
yang dapat menimbulkan keresahan pada masyarakat.
Media massa dilarang mengemukakan tulisan yang melanggar hak-hak pribadi
yang diakui oleh hukum, serta dilarang melanggar kepentingan vital
masyarakat. Dengan demikian kontrol media adalah pendapat masyarakat
(community opinion), tindakan konsumen (consumer action) dan etika
profesi” (professional ethics). Hal yang paling esensial dalam teori ini
adalah media harus memenuhi kewajiban sosial. Jika tidak, masyarakat
akan membuat media tersebut mematuhinya.
Teori Soviet Totalitarian
Sesuai dengan namanya, teori ini lahir di Uni Soviet, kemudian
berkembang di negara-negara komunis Eropa Timur. Dalam beberapa hal sama
dengan apa yang diperbuat oleh Hitler dengan Nazinya, dan fasisme di
Itali di bawah pimpinan Benito Mussolini. Teori Soviet Totalitarian
disebut juga sebagai teori Soviet Komunis (Soviet Communist). Falsafah
yang mendasarinya adalah ajaran Marxisme, Leninisme, Stalinisme, dan
pembauran pikiran-pikiran Hegel dengan cara berpikir Rusia abad 19.
Tujuan utama teori ini adalah membantu suksesnya dan berlangsungnya
sistem sosialis Soviet, khususnya keberlangsungan diktator partai. Dalam
hal ini, media massa merupakan alat pemerintah (partai) dan merupakan
bagian integral dari negara. Ini berarti media massa harus tunduk pada
pemerintah dan dikontrol dengan pengawasan ketat oleh pemerintah atau
partai.
Media massa dilarang melakukan kritik terhadap tujuan dan kebijakan
partai. Karena media massa sepenuhnya menjadi milik pemerintah, maka
yang berhak menggunakannya anggota partai yang setia dan ortodoks.
Sistem Pers Indonesia
Setelah mengetahui empat teori pers yang ada di dunia, lantas kita tentu
bertanya. Termasuk dalam kategori manakah teori pers yang dianut di
Indonesia? Sistem pers Indonesia tidak dapat dikategorikan pada salah
satu teori pers yang dikemukakan Siebert dan kawan-kawanya. Meskipun
mendekati teori tanggung jawab sosial, tetapi sistem pers Indonesia
tidak identik dengan teori tanggung jawab sosial.
Sistem pers Indonesia memiliki kekhasan karena ideologi dan falsafah
negara Indonesia yakni Pancasila dan budaya masyarakat Indonesia yang
khas pula. Selanjutnya sistem pers Indonesia disebut sebagai Pers
Pancasila, sebagaimana yang selalu dikatakan oleh Menteri Penerangan RI
pada saat itu beserta jajarannya, yang juga disepakati oleh insan pers
Indonesia.
Media massa Indonesia sebagai suatu sistem, terkait dengan aspek-aspek
lainnya yang tertuang dalam Keputusan Dewan Pers No. 79/XIV/1974 yang
intinya mengemukakan bahwa kebebasan pers (media massa) Indonesia
berlandaskan pada hal-hal:
- Idiil: Pancasila
- Konstitusional: Undang-undang dasar 1945 dan Ketetapan-ketetapan MPR.
- Strategis: Garis-Garis Besar Haluan Negara
- Yuridis: Undang-undang Pokok Pers No. 21 Tahun 1982. (Masa mendatang ditambah dengan Undang-Undang Penyiaran yang sedang dalam proses “pembuatan”.
- Kemasyarakatan: Tata nilai sosial yang berlaku pada masyarakat Indonesia.
- Etis: Norma-norma kode etik profesional.
Pers Indonesia memunyai kewajiban:
- Mempertahankan, membela mendukung dan melaksanakan Pancasila dan UUD ’45 secara murni dan konsekuen;
- Memperjuangkan pelaksanaan Amanat Penderitaan Rakyat yang berlandaskan Demokrasi Pancasila:
- Memperjuangkan kebenaran dan keadilan atas dasar kebebasan pers;
- Membina persatuan dan menentang imperialisme, kolonialisme, neokolonialisme, feodalisme, liberalisme, komunisme, dan fasisme/diktator;
- Menjadi penyalur pendapat umum yang konstruktif dan progresif-revolusioner (UU Pokok Pers No. 11 Tahun 1982 Pasal 2).
Kebebasan pers Indonesia dijamin oleh Pasal 28 UUD 45 yang intinya mengemukakan bahwa setiap warga negara Indonesia bebas mengeluarkan pendapat, baik lisan maupun tulisan. Dengan demikian setiap warga negara memunyai hak penerbitan pers asal sesuai dengan hakikat Demokrasi Pancasila (UU Pokok Pers No. 11 Tahun 1982).
Kebebasan pers Indonesia adalah kebebasan yang bertanggung jawab yang
berdasarkan pada nilai-nilai Pancasila. Misalnya setiap pemberitaan atau
jenis pesan komunikasi lainnya tidak boleh menyinggung “SARA” (Suku,
Agama, Ras dan Antar Golongan) yang pada akhirnya akan menimbulkan
keresahan masyarakat dan memecah persatuan dan kesatuan bangsa.
Hal lainnya yang tidak boleh dilakukan adalah menghina Kepala Negara dan
menghina aparatur pemerintah yang sedang bertugas. Apabila media massa
melakukan pelanggaran, maka pemimpin redaksi tersebut akan dapat
diajukan ke pengadilan.
ConversionConversion EmoticonEmoticon